Muhammad Zahran, CNBC Indonesia
04 December 2025 14:39
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tutupan hutan terbesar di dunia. Melansir data FAO pada tahun 2020, sekitar 48,1% lahan di Indonesia ditutupi oleh hutan, dengan total luas kawasan hutan mencapai 92,1 juta hektare.
Total luas kawasan hutan tersebut mencakup seluruh jenis tutupan hutan, baik yang berfungsi sebagai hutan konservasi maupun produksi.
Di antara berbagai jenis kawasan hutan, hutan lindung adalah salah satu jenis hutan yang paling esensial karena mempunyai peran khusus untuk menjaga fungsi ekologis.
Salah satu kategori penting dalam klasifikasi ini adalah hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan khusus untuk menjaga fungsi ekologis. Berdasarkan UU UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persebaran hutan lindung di seluruh provinsi di Tanah Air.
Berdasarkan data BPS, Provinsi Papua memiliki kawasan hutan lindung terbesar, yakni mencapai 7,81 juta hektare. Dengan kata lain, Papua menyumbang 27% dari total hutan lindung nasional, menjadikannya sebagai benteng ekologis nasional. Provinsi Papua Barat turut menjadi penyangga ekologis dengan luas kawasan hutan lindung mencapai 1,63 juta hektare. Provinsi Papua Pegunungan juga mengklaim memiliki 27 kawasan hutan lindung di seluruh wilayahnya.
Sebagian besar wilayah Kalimantan juga menjadi penyangga ekologis, dengan luas kawasan hutan lindung yang cukup besar. Kawasan hutan lindung Kalimantan Timur mencapai 2,84 juta hektare, sementara Kalimantan Barat 2,31 juta hektare, Kalimantan Tengah 1,34 juta hektare, dan Kalimantan Selatan 507 ribu hektare.
Luasnya kawasan hutan lindung di Papua dan Kalimantan ditopang oleh bentang alamnya yang masih alami dan jauh dari urbanisasi. Selain itu, kondisi topografi berupa pegunungan disertai dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, menjadikannya ideal sebagai kawasan penyangga tata air.
Sejumlah provinsi di Sulawesi dan Sumatera juga memiliki kawasan hutan lindung yang cukup besar. Di Sumatera misalnya, Aceh dan Sumatera Utara tercatat memiliki kawasan hutan lindung terbesar, masing-masing seluas 1,78 juta hektare dan 1,2 juta hektare.
Penyusutan Kawasan Hutan
Dalam beberapa dekade terakhir, tutupan hutan di Tanah Air terus mengalami penyusutan. Melansir data FAO, total luas kawasan hutan nasional mencapai 118,5 juta hektare pada tahun 1990, kemudian menyusut hingga tersisa 92,1 juta hektare pada tahun 2020.
Deforestasi menjadi penyebab utama di balik menyusutnya kawasan hutan Indonesia. Data World Bank mencatat Indonesia telah kehilangan lebih dari 24 juta hektar hutan akibat deforestasi dalam dua dekade terakhir. Ancaman terbesarnya datang dari alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit dan pertambangan.
Berdasarkan laporan Interfaith Rainforest Initiative, perkebunan sawit di Indonesia telah meningkat sepuluh kali lipat antara tahun 1985 dan 2007, mencapai 6 juta hektar. Data BPS juga menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan total luas mencapai 16 juta hektare pada 2024.
Kalimantan dan Sumatera menjadi wilayah paling terdampak, dengan kehilangan lebih dari setengah hutannya akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Terlihat dari provinsi-provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang mengalami peningkatan luas perkebunan sawit secara signifikan dalam 5 tahun terakhir.
Ekspansi masif ini tidak hanya melampaui kapasitas ekologis wilayah tersebut, tetapi juga menyebabkan hilangnya lebih dari setengah tutupan hutan di wilayah tersebut akibat konversi lahan menjadi perkebunan sawit.
Dampak deforestasi tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak hanya berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati, deforestasi juga bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim dan bencana ekologis lainnya.
Sejumlah kawasan bahkan telah merasakan langsung dampak buruk akibat deforestasi besar-besaran. Bencana banjir yang melanda wilayah Sumatera belakangan ini turut dipicu oleh kerusakan lingkungan, salah satunya adalah pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan pertambangan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyatakan bahwa penyebab banjir yang melanda Sumatera Utara bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem, melainkan akibat degradasi lingkungan. Klaim ini didukung dengan rekam citra satelit tahun 2016 hingga 2025 yang menunjukkan pembukaan lahan besar-besaran di Sumatera Utara. Walhi Sumatera Utara mencatat 2 ribu hektare hutan di Sumut rusak dalam satu dekade terakhir.
Melansir CNN, citra satelit bahkan menunjukkan kerusakan di wilayah konservasi dan hutan lindung, seperti wilayah perbukitan di Taman Nasional Kerinci Seblat.
Deforestasi yang terjadi secara masif di Sumatera telah melemahkan fungsi ekologis kawasan hutan sebagai penyangga air. Wilayah tersebut menjadi jauh lebih rentan terhadap banjir bandang ketika curah hujan meningkat. Ketika dilanda cuaca ekstrem, kawasan yang sudah kehilangan fungsi hutan penyangganya pun langsung diterjang banjir besar yang membawa dampak kerugian besar.
Tidak berhenti sampai disitu, deforestasi juga menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa lokal. Bencana yang terjadi tidak hanya memakan korban jiwa manusia, tapi juga sejumlah hewan liar seperti gajah dan harimau.
Rangkaian bencana besar yang terjadi belakangan ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa kerusakan hutan telah melewati batas toleransi ekologis. Jika degradasi lingkungan terus dibiarkan, Indonesia bukan hanya kehilangan hutan, tetapi juga kehilangan kemampuan alam untuk melindungi masyarakatnya sendiri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

13 hours ago
2

















































