Banyak Orang Tak Sadar, Banyak Kasus Femisida di Sekitar Kita

5 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Femisida masih jadi istilah yang asing dalam sistem hukum dan kebijakan publik di sebagian besar negara Asia Tenggara. Padahal, femisida banyak terjadi di sekitar kita. 

Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Jakarta Feminist mencatat ada 204 kasus femisida sepanjang tahun 2024 di Indonesia. Sebagian besar pelaku adalah laki-laki yang memiliki hubungan dekat dengan korban.

Chandy Eng dari organisasi Gender and Development for Cambodia menyoroti bagaimana di negaranya, pembunuhan terhadap perempuan sering kali tidak disebut sebagai femisida, melainkan hanya dianggap konflik rumah tangga. Kekerasan ekstrem terhadap perempuan yang berujung pada kematian itu terus terjadi, berulang, dan nyaris selalu diawali dengan pola kekerasan yang sebelumnya telah diabaikan.

"Ketika perempuan dibunuh karena dia perempuan, itu adalah femisida, tapi karena tidak dinamai, maka ia tak terlihat sebagai persoalan sistemik," kata Chandy dalam diskusi publik dan perilisan data femisida yang dilakukan hybrid dari Jakarta pada Senin (30/6/2025).

Chandy menyebut, negara-negara Asia Tenggara umumnya memiliki data kematian perempuan, namun sangat sedikit yang melakukan analisis berdasarkan motif gender. "Statistik saja tidak cukup. Tanpa analisis berbasis gender, korban hanya akan jadi angka. Kita tak akan pernah tahu pola kekerasan yang mengarah pada pembunuhan," ujarnya.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024, Siti Aminah Tardi menegaskan, pembunuhan terhadap perempuan sering kali tidak dikenali sebagai femisida karena sistem hukum belum mengakui motif gender sebagai unsur penting.

"Kalau tidak dinamai, maka tidak dianalisis. Kalau tidak dianalisis, tidak bisa dicegah," tegasnya.

Dalam paparannya, Siti memetakan berbagai bentuk femisida di Indonesia, mulai dari kekerasan pasangan intim yang berujung pada pembunuhan, hingga pembunuhan dengan unsur kekerasan seksual sebelum dan sesudah korban meninggal. Ia juga menyoroti bagaimana pornografi, konsumsi alkohol, dan relasi kuasa turut memperparah risiko kekerasan ekstrem terhadap perempuan.

Fakta lapangan menunjukkan, sebagian besar korban berusia 18-35 tahun. Banyak diantaranya dibunuh dengan cara-cara brutal, termasuk dipukul benda tumpul, ditusuk, dibakar, bahkan dimutilasi.

"Tubuh perempuan dalam masyarakat patriarkal sering kali dianggap sebagai objek kepemilikan dan kekuasaan. Ini akar dari femisida," ujar Siti.

Ia juga mencatat daerah-daerah dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap femisida, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Sayangnya, tak ada sistem pendataan nasional yang secara spesifik memantau femisida sebagai isu terpisah dari pembunuhan biasa.

Chandy menambahkan, untuk mengatasi femisida, negara harus terlebih dahulu mengakui bahwa ini bukan sekadar kejahatan biasa, melainkan pelanggaran hak asasi manusia. "Femisida bisa dicegah. Tapi upaya penyelamatan hanya dimulai ketika kita cukup peduli untuk menamai kekerasan, melihat polanya, dan membangun sistem pencegahan," katanya.

Chandy dan Siti pun sepakat solusi jangka panjang harus mencakup pengakuan hukum terhadap femisida, pembentukan sistem data dan observatorium femisida nasional, serta pelatihan aparat agar peka terhadap pola kekerasan berbasis gender. Tanpa itu semua, kata mereka, siklus kekerasan akan terus berulang dan korban akan terus bertambah.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Mengejutkan! Kumpul Kebo di Wilayah Terkenal RI Ini Didukung Orang Tua

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |