Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
08 December 2025 10:22
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan mata uang Asia tidak seragam pada perdagangan pagi ini, Selasa (8/12/2025) dengan sebagian mata uang masih berada di bawah tekanan di tengah pelemahan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv per pukul 10.00 WIB, rupiah menjadi salah satu mata uang yang tertekan di kawasan Asia dengan pelemahan sebesar 0,21% ke level Rp16.670/US$.
Selain rupiah, tekanan juga dialami oleh beberapa mata uang Asia lainnya, di antaranya dong Vietnam yang melemah 0,16% ke level 26.362/US$, peso Filipina yang turun 0,08% ke posisi 58,930/US$, serta baht Thailand yang terkoreksi tipis 0,03% ke level 31,86/US$.
Di sisi lain, sejumlah mata uang Asia justru mampu mencatatkan penguatan.
Won Korea Selatan menguat paling besar dengan kenaikan 0,39% ke posisi 1.467,69/US$, diikuti dolar Taiwan yang juga terapresiasi 0,39% ke level 31,142/US$.
Serta, yen Jepang yang mengalami penguatan 0,23% ke posisi 154,98/US$, sementara yuan China tercatat naik tipis 0,01% ke level 7,069/US$.
Di Asia Tenggara, dolar Singapura menguat 0,05% ke posisi 1,2952/US$ dan ringgit Malaysia juga naik 0,05% ke level 4,105/US$.
Sejalan dengan pergerakan tersebut, indeks dolar AS (DXY) tercatat melemah 0,09% ke level 98,899, memberikan ruang bagi sebagian mata uang Asia untuk bergerak menguat. Meski demikian, rupiah belum mampu memanfaatkan momentum tersebut.
Pergerakan mata uang Asia pada hari ini tak lepas dari dinamika eksternal, khususnya dari arah pergerakan indeks dolar AS (DXY). Pelaku pasar global kini tengah menantikan keputusan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan ditetapkan dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 9-10 Desember, atau Jumat dini hari waktu Indonesia.
Berdasarkan CME FedWatch Tool, pasar saat ini memproyeksikan peluang sebesar 88,4% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin ke kisaran 3,50%-3,75% pada pertemuan mendatang. Ekspektasi ini kian menguat setelah sejumlah data ekonomi AS pekan lalu menunjukkan tanda-tanda pelemahan, khususnya di sektor tenaga kerja.
Laporan dari ADP serta Challenger, Gray & Christmas mencatat adanya peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) serta kehilangan pekerjaan yang terjadi di luar perkiraan pasar. Kondisi ini memperkuat keyakinan investor bahwa pemangkasan suku bunga dari kisaran 3,75%-4,00% menuju 3,50%-3,75% hampir dipastikan terjadi.
Sentimen dovish juga diperkuat oleh rilis data Personal Consumption Expenditures (PCE) AS pada Jumat lalu yang menunjukkan inflasi kembali melandai. Data ini semakin membuka ruang bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneternya dalam waktu dekat.
Dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga yang kian menguat, dolar AS berpotensi kembali berada dalam tekanan di pasar global. Seiring dengan itu, pelaku pasar mulai mengalihkan dana dari aset berdenominasi dolar ke aset berisiko, termasuk ke mata uang Asia dan pasar negara berkembang (emerging markets).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

2 hours ago
1

















































