Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
23 December 2025 09:55
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau bervariasi pada perdagangan pagi ini, Selasa (23/12/2025), di tengah pelemahan dolar AS di pasar global.
Mengacu pada data Refinitiv, hingga pukul 09.15 WIB, yen Jepang tercatat sebagai mata uang Asia terkuat terhadap greenback, sementara won Korea Selatan justru menjadi yang paling tertekan.
Yen Jepang menguat 0,38% atau terapresiasi ke level JPY 156,46/US$ yang menjadikannya pemimpin penguatan di Asia. Tepat di bawahnya, ringgit Malaysia turut menguat 0,25% ke posisi MYR 4,066/US$.
Penguatan juga terjadi pada baht Thailand dan dolar Singapura, yang masing-masing naik 0,16% ke level THB 31,10/US$ dan 0,10% ke posisi SGD 1,2869/US$. Sementara itu, yuan China mencatatkan penguatan tipis 0,05% ke level CNY 7,0332/US$.
Di sisi lain, sejumlah mata uang Asia bergerak melemah. Won Korea Selatan memimpin pelemahan dengan terdepresiasi 0,26% ke posisi KRW 1.483,26/US$. Pelemahan juga dialami dong Vietnam dan peso Filipina, yang masing-masing turun 0,13% ke level VND 26.335/US$ dan 0,05% ke posisi PHP 58,729/US$.
Sementara itu, rupiah Garuda turut masuk dalam jajaran mata uang Asia yang melemah. Setelah sempat menguat 0,25% pada awal perdagangan di level Rp16.730/US$, rupiah berbalik arah dan melemah tipis 0,03% ke posisi Rp16.770/US$ saat artikel ini ditulis.
Pergerakan mata uang Asia di perdagangan pagi ini, Selasa (23/12/2025) sebetulnya mendapatkan dorongan positif dari posisi dolar AS yang tengah melemah di pasar global.
Indeks dolar AS (DXY) yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini per pukul 09.15 WIB terpantau kembali berada di zona koreksi dengan penurunan sebear 0,18% dan bertengger di level 98,104.
Sekaligus melanjutkan pelemahannya sejak kemarin, dimana DXY terkoreksi cukup dalam hingga 0,32% atau turun ke posisi 98,286.
Pelemahan dolar AS pada perdagangan pagi ini tidak terlepas dari ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) ke depan.
Pelaku pasar saat ini memperkirakan The Fed masih akan melanjutkan siklus pelonggaran kebijakan, dengan total pemangkasan suku bunga sekitar 50 basis poin sepanjang 2026. Ekspektasi tersebut membuat daya tarik aset berdenominasi dolar AS cenderung melemah.
Tekanan terhadap dolar AS juga datang dari langkah The Fed yang kembali meningkatkan likuiditas di sistem keuangan. Sejak pertengahan Desember, bank sentral AS mulai melakukan pembelian US Treasury Bills senilai US$40 miliar per bulan, yang dipandang pasar sebagai sinyal kebijakan moneter yang lebih akomodatif dan cenderung membebani pergerakan dolar.
Sentimen pelemahan dolar juga diperkuat oleh pernyataan pejabat The Fed. Gubernur The Fed Stephen Miran pada Senin kemarin menyatakan bahwa kegagalan menurunkan suku bunga berisiko meningkatkan peluang perlambatan ekonomi, meskipun ia menegaskan tidak melihat potensi resesi dalam waktu dekat.
Pernyataan tersebut semakin memperkuat ekspektasi pasar akan arah kebijakan moneter yang lebih longgar.
Saat ini, pasar memperkirakan peluang sekitar 20% bagi Federal Open Market Committee untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada pertemuan 27-28 Januari 2026. Kombinasi faktor tersebut membuat dolar AS bergerak di bawah tekanan.
Pelemahan dolar AS ini mendorong pelaku pasar mulai mengurangi eksposur pada aset berdenominasi dolar dan kembali mencari peluang di aset berisiko. Kondisi tersebut membuka ruang terjadinya aliran dana ke pasar negara berkembang (emerging markets), termasuk ke Asia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

3 hours ago
3

















































