Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Leuven, sebuah kota universitas di Belgia, menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar isu lingkungan, melainkan instrumen kebijakan ekonomi dan disiplin publik. Sistem yang diterapkan sejak puluhan tahun lalu relatif konsisten hingga hari ini, dan kuncinya bukan teknologi mahal, melainkan desain insentif yang tepat.
Pemerintah kota Leuven menerapkan sistem pemilahan sampah berbasis kantong plastik resmi yang dibedakan warna. Setiap warna mewakili jenis sampah tertentu dan memiliki konsekuensi biaya yang berbeda. Di sinilah logika ekonominya bekerja.
Pertama, kantong coklat digunakan untuk sampah residu atau "sampah lain-lain" yang tidak bisa didaur ulang. Kantong ini harus dibeli warga di supermarket, dengan harga relatif mahal. Artinya, semakin banyak sampah residu yang dihasilkan rumah tangga, semakin besar biaya yang harus mereka keluarkan. Negara tidak melarang orang menghasilkan sampah, tetapi membuatnya menjadi keputusan yang mahal.
Kedua, kantong hijau transparan diperuntukkan bagi sampah organik. Harganya jauh lebih murah, bahkan relatif "disubsidi" dibanding kantong coklat. Ini mendorong warga memisahkan sisa makanan dan limbah dapur karena secara langsung mengurangi pengeluaran bulanan mereka.
Ketiga, kantong biru transparan digunakan untuk kertas, botol plastik, dan kemasan minuman. Kantong ini juga murah, dan karena isinya mudah didaur ulang, biaya pengelolaannya rendah bagi kota. Dengan kata lain, sistem ini menyelaraskan kepentingan warga dan pemerintah.
Keempat, pengangkutan sampah dilakukan per blok apartemen atau kawasan, bukan per individu. Jika satu blok salah memilah, misalnya sampah residu dimasukkan ke kantong daur ulang, maka seluruh kantong di blok tersebut tidak diangkut.
Tidak ada perdebatan, tidak ada toleransi. Akibatnya, tekanan sosial bekerja dengan sangat efektif. Warga saling mengingatkan, bukan karena cinta lingkungan, tetapi karena tidak mau menanggung konsekuensi bersama.
Hasilnya jelas. Tingkat pemilahan sampah tinggi, volume sampah residu rendah, dan biaya pengelolaan kota terkendali. Yang lebih penting, sistem ini menciptakan perilaku rasional: warga belajar bahwa setiap pilihan konsumsi dan pembuangan memiliki harga.
Bagi Indonesia, pelajaran utamanya bukan pada warna plastik atau teknis pengangkutan, melainkan pada desain insentif. Selama ini, kebijakan sampah cenderung normatif: imbauan, kampanye, dan spanduk kesadaran. Namun tanpa konsekuensi ekonomi yang jelas, perilaku tidak berubah secara sistemik.
Jika pemerintah daerah di Indonesia berani menerapkan prinsip serupa, misalnya biaya nyata untuk sampah residu dan kemudahan untuk sampah terpilah, maka pengurangan sampah tidak lagi bergantung pada moral, melainkan pada logika ekonomi sehari-hari. Ini penting, karena pengelolaan sampah yang buruk bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga membebani anggaran daerah dan menurunkan produktivitas kota.
Leuven membuktikan bahwa disiplin publik tidak harus dibangun lewat hukuman keras atau teknologi canggih. Cukup dengan satu hal: membuat biaya salah lebih mahal daripada biaya benar. Bagi negara berkembang yang ingin kota-kotanya lebih efisien dan layak huni, ini adalah pelajaran kebijakan yang sangat relevan hari ini.
(miq/miq)

5 hours ago
3

















































